BAB I PENDAHULUAN. 2000, film kartun ini telah menjadi acara favorit anak-anak usia prasekolah - PDF Free Download (2024)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dora the Explorer merupakan sebuah film animasi sukses yang dibuat oleh Nickelodeon di Amerika Serikat. Sejak pertama kali tayang pada 14 Agustus 2000, film kartun ini telah menjadi acara favorit anak-anak usia prasekolah (PAUD). Menurut data yang dilansir Nielsen Media Research (Seidman, 2011), di tahun 2011 Dora the Explorer ditonton oleh sekitar 1,9 juta anak usia prasekolah setiap harinya. Kartun ini kemudian ditayangkan di 74 negara dan diterjemahkan ke dalam 23 bahasa (Havrilla, 2010: 10). Film kartun yang didedikasikan untuk anak-anak usia prasekolah ini bercerita tentang seorang anak perempuan Latin berumur 7 tahun bernama Dora yang menjelajahi hutan bersama teman-temannya, Boots, Backpack, Map, dan lainnya. Ketika menjelajahi hutan mereka menemukan petualangan-petualangan menarik yang dipecahkan secara logis. Mereka juga mengajak penonton untuk ikut memecahkan masalah yang dihadapi melalui interaksi. Menurut Cortá, Wionczek, dan Lovelace (2014) interaksi yang terdapat dalam film kartun ini mendorong anak untuk belajar menggunakan kecerdasan bahasa mereka. Hal ini karena anak belajar memahami perintah, instruksi, ataupun pertanyaan dari tokoh film kartun Dora the Explorer. Interaksi ini membedakan film kartun ini dengan film kartun yang lain. Cortá, Wionczek, dan Lovelace (2014) juga menyebutkan bahwa interkasi antara tokoh dalam film kartun Dora the Explorer dengan 1

2

penontonnya berdasarkan 7 hal, yakni logika, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, spasial, dan bahasa. Dalam interaksinya, selain menggunakan bahasa Inggris para tokoh film kartun ini juga menggunakan bahasa Spanyol yang menunjukkan identitas Dora sebagai seorang anak Latin. Interaksi yang digunakan para tokoh dalam film kartun Dora the Explorer mengandung beberapa jenis tindak tutur. Hal ini karena interaksi tersebut tidak sekadar memproduksi ujaran berupa kata-kata, tetapi juga mempunyai dampak berupa tindakan yang dialami penontonnya. Dengan demikian, tujuan komunikatif disampaikan melalui tindak tutur. (1) DORA:

We need to teach the giant rocks to sing. Come on!

(2) WITCH:

She’ll never turn the winter into spring. I’ll make it even colder. Sé más frío. Snowmen (speaking Spanish)!

Frasa come on pada tuturan (1) menggambarkan adanya tindak tutur yang mengharapkan penontonnya melakukan sesuatu. Ketika frasa tersebut dituturkan, penonton akan merasa harus melakukan perintah tersebut. Sementara itu, ujaran pada tuturan (2) menyebabkan keadaan berubah menjadi dingin dan bersalju. Dengan kata lain, tuturan ini mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sementara itu, agar interaksi para tokoh dalam film kartun Dora the Explorer berhasil dimengerti anak, perlu digunakan bentuk bahasa yang didesain untuk bisa mengajak anak berkomunikasi secara aktif. Hal ini sesuai dengan tujuan pembuatan film kartun ini, yakni sebagai tayangan untuk anak-anak usia prasekolah. Menurut Lightbown dan Spada (1999: 2) anak usia prasekolah sudah bisa menguasai dan memahami tuturan dengan tata bahasa dasar. Oleh karena itu,

3

anak bisa memahami tuturan seseorang. Meskipun demikian, kemampuan mereka masih terbatas karena penguasaan bahasa anak belum sempurna. Hal semacam ini juga menyebabkan tuturan para tokoh dalam film kartun Dora the Explorer menggunakan karakteristik bahasa sesuai dengan kemampuan anak. Kasus semacam ini ditunjukkan oleh beberapa contoh di bawah ini. (3) DRAGON: When you match the shape to the right one in the treasure chest, you will find the rings. Will you help? (Pause) Great! (4) STARS:

Catch me! Catch me! Catch me!

Dari dua contoh percakapan di atas, karakteristik bahasa yang digunakan pada tuturan (3) adalah adanya kata pujian, sementara tuturan (4) memiliki karakteristik adanya pengulangan. Tentu saja dua karakteristik ini membedakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan selain anak berusia prasekolah. Contoh lain dari karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer adalah adanya penggunaan kata sapaan dan ajakan seperti yang terdapat pada tuturan (5) dan pemilihan kosakata sederhana seperti pada tuturan (6). (5) DORA:

Hola! Soy Dora! Boots and I are going to fairytale land. Do you want to come with us? (pause) Great! Come on! Vomonos! Let’s go!

(6) DORA:

Do you see any explorer stars around here? (pause)Yes that (while pointing to the star)! You found him! The

4

explore star. He’ll help us. Tuturan (5) merupakan bentuk ajakan yang digunakan untuk mengajak penonton berpetualang. Sementara itu, pada tuturan (6) kata see dianggap lebih sederhana daripada notice dan kata found lebih sederhana daripada discovered. Tuturan (5) dan (6) memberikan contoh bagaimana karakteristik bahasa yang digunakan para tokohnya agar bisa dipahami anak-anak. Karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer menunjukkan bahwa perlu adanya strategi khusus untuk berkomunikasi dengan anak. Penggunaan ragam bahasa tersebut disebabkan karena anak berusia 2,5 hingga 5 tahun masih belajar memperoleh bahasa, sehingga kemampuan bahasa mereka belum sempurna. Hal ini kemudian menuntut orang dewasa untuk memodifikasi tuturan mereka dengan menggunakan ragam bahasa seperti child directed speech. Menurut Dardjowidjojo (2010: 242), dalam bahasa Indonesia child directed speech dikenal dengan istilah “bahasa sang ibu”. Field (2004: 54) mendefinisikan bahasa sang ibu sebagai bahasa yang digunakan orang dewasa ketika berbicara kepada anak-anak yang masih dalam masa perkembangan. Pada dasarnya, bahasa sang ibu membuat bahasa yang digunakan orang dewasa sederhana, sehingga lebih mudah dipahami anak. Seiring dengan berkembangnya usia anak, penggunaan bahasa sang ibu juga akan berkurang. Secara sosial, penggunaan karakteristik bahasa seperti dalam film kartun Dora the Explorer mungkin dilakukan karena pengaruh beberapa faktor, termasuk faktor umur lawan bicara maupun konteks pembicaraan. Penutur manapun akan

5

menyesuaikan bahasa mereka ketika berbicara dengan lawan yang berbeda faktor sosialnya. Perbedaan tersebut selain bertujuan untuk mempermudah komunikasi, juga akan menimbulkan adanya variasi bahasa yang beragam. Karena karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer merepresentasikan modifikasi bahasa yang digunakan para tokohnya untuk berkomunikasi dengan anak, maka penelitian terhadap bahasa sang ibu dalam film kartun tersebut menarik dilakukan. Dengan menggunakan pendekatan pragmatik, penelitian ini akan mendeskripsikan jenis tindak tutur yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer. Sementara itu, pendekatan psikolinguistik digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa yang digunakan para tokohnya serta faktor penggunaan karakteristik bahasa tersebut.

1.2 Rumusan masalah Penelitian mengenai karakteristik bahasa sang ibu ini terdiri dari tiga pokok bahasan, yaitu (1) kajian tindak tutur, (2) kajian karakteristik bahasa yang digunakan, dan (3) faktor penggunaannya. Selanjutnya rumusan masalah dalam penelitian ini dijabarkan secara rinci sebagai berikut. 1.

bagaimana jenis tindak tutur yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer?;

2.

bagaimana karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer?; dan

3.

mengapa karakteristik bahasa tersebut digunakan dalam film kartun Dora the Explorer?

6

1.3 Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. untuk mendeskripsikan jenis tindak tutur yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer; 2. untuk mendeskripsikan karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer; dan 3. untuk menjelaskan faktor penggunaan karakteristik bahasa tersebut dalam film kartun Dora the Explorer.

1.4 Ruang Lingkup Lingkup pembahasan dalam penelitian ini yaitu analisis karakteristik bahasa dalam film kartun Dora the Explorer khususnya uraian mengenai tindak tutur yang digunakan para tokoh dalam film kartun ini berdasarkan teori Searle (1999) dan Malinowski (1923), karakteristik bahasa yang digunakan para tokoh dalam film kartun ini berdasarkan teori Clark and Clark (1977), dan faktor penggunaan karakteristik bahasa tersebut berdasarkan teori Clark and Clark (1977), serta Schunk, Pintrich, dan Meece (2010). Untuk membatasi data, penelitian ini hanya mengambil data dari episode Fairytale Adventure. Hal ini dikarenakan episode tersebut dianggap sudah bisa merepresentasikan penggunaan bahasa pada episode yang lain dalam penggunaan bahasa sang ibu.

7

1.5 Manfaat Penelitian Hasil akhir penelitian ini adalah interpretasi dari karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan linguistik, khususnya tentang bahasa sang ibu dan tindak tutur. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai salah satu referensi bagi peneliti yang juga tertarik meneliti pemerolehan bahasa pada anak dan bahasa sang ibu. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat memberikan pengetahuan bagaimana bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anak sehingga pesan di dalamnya dapat tersampaikan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan pengetahuan bagaimana cara mengajarkan anak untuk memperoleh bahasa.

1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian tentang pemerolehan bahasa anak dan pembelajaran bahasa sudah banyak dilakukan. Hanya saja, penelitian tentang bahasa sang ibu belum banyak dilakukan di lingkup UGM. Penelitian yang relevan tentang pemerolehan bahasa anak sudah pernah dilakukan oleh Israwati (2012). Selain itu, Pempek, Kirkorian, dan Anderson (2014) juga pernah melakukan penelitian tentang bahasa sang ibu. Israwati (2012) dalam tesisnya berjudul “Pemerolehan Bahasa Pertama (Bahasa Indonesia) pada Anak Usia 2,9 tahun - 3,7 tahun di Kabupaten MunaSulawesi Tenggara” mengkaji pemerolehan sintaksis dengan menghitung panjang

8

ujaran anak. Subjek penelitian ini adalah anak berusia 2,9 tahun dan 3,2-3,7 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) kata depan yang lebih dahulu dikuasai oleh anak yaitu preposisi di- dan yang muncul terakhir adalah ke-; (2) konjugator yang pertama muncul pada ujaran anak yaitu dan/dengan, karena, waktu, dan tidak…hanya; (3) pada umur 2,9 tahun, pemerolehan kalimat imperatif pada anak lebih dominan sedangkan pada saat anak memasuki umur 3,2-3,7 tahun, kalimat deklaratif lebih dominan; dan (4) pada umur 2,9 tahun, panjang kisaran ujaran adalah 3-4 kata sedangkan pada umur 3,2-3,7 tahun panjang ujaran kalimat berkisar 4-5 kata. Pempek, Kirkorian, dan Anderson (2014) mengkaji bahasa sang ibu dalam penelitian yang berjudul “The Effects of Background Television on the Quantity and Quality of Child-Directed Speech by Parents”. Penelitian ini melibatkan 49 anak beserta orang tua mereka untuk melihat pengaruh acara televisi yang isi dan bahasanya tidak dipahami anak-anak (background television). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menonton acara televisi dengan isi dan bahasa yang tidak dipahami anak mengurangi tingkat interaksi anak dengan orang tua, serta mengurangi jumlah kata yang diproduksi anak, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sementara itu, penelitian terhadap film kartun Dora the Explorer pernah dilakukan oleh Chappell (2010) mengenai multikulturalisme dalam film kartun Dora the Explorer. Ryan (2010) juga pernah meneliti mengenai pengaruh film kartun Dora the Explorer terhadap anak usia prasekolah, anak perempuan, dan anak Latin.

9

Chappell (2010) melakukan penelitian berjudul “Better-Multiculturalism through Technology: Dora the Explorer and the Training of the Prescholl Veiwer(s)”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa multikulturalisme yang ada dalam film kartun Dora the Explorer merepresentasikan persahabatan. Meskipun Dora berasal dari Amerika Latin, dia bisa berteman dan bekerja sama dengan siapapun ketika berpetualang di beberapa negara seperti yang tergambar dalam 12 episode yang diteliti. Multikulturalisme dalam film Dora the Explorer juga terlihat dari penggunaan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Spanyol. Bilingualisme merupakan simbol dari toleransi. Sementara itu, film kartun ini juga memperkenalkan teknologi kepada anak. Hal ini karena banyak narasi kartun Dora the Explorer dalam bentuk game komputer dan petualangannya menggunakan teknologi. Narasi film ini yang mengajak penonton ikut berpartisipasi, membuat anak secara aktif berlatih menggunakan bahasa dan teknologi. Ryan (2010) dalam penelitiannya berujudul “Dora the Explorer: Empowering Preschoolers, Girls, and Latinas” mengkaji bagaimana pengaruh film kartun Dora the Explorer bisa mengarahkan pandangan anak-anak usia prasekolah, anak-anak perempuan, dan anak-anak Latin. Penelitian ini meneliti dua episode film kartun Dora the Explorer, “Dora Saves the Prince” dan “ Dora’s Adventure”. Dua episode ini banyak menggunakan interaksi, mengangkat ide antiBarbie yang sedang populer di kalangan anak-anak Amerika Serikat, serta banyak menggunakan bahasa Latin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film kartun ini bisa membuat anak-anak prasekolah mau belajar bahasa secara aktif. Hal ini

10

karena film kartun Dora the Explorer banyak mengajak para penonton untuk ikut bertualang melalui interaksi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kisah dalam film kartun ini bisa mengubah pandangan anak-anak perempuan di Amerika Serikat tentang konsep Barbie sebagai wanita sempurna yang cantik, langsing,

berambut

panjang,

dan

fisik

menawan.

Tokoh

Dora

ingin

menyampaikan pesan kepada anak-anak perempuan bahwa konsep cantik dan sempurna adalah mereka yang bisa menyelesaikan masalah dengan mandiri. Sementara itu, penggunaan bahasa Latin dalam film kartun ini mendorong anakanak Latin di Amerika Serikat untuk bangga menggunakan bahasa ini sebagai identitas mereka serta memperkenalkan bahasa Spanyol kepada anak penutur bahasa lain. Penelitian mengenai tindak tutur sudah banyak sekali dilakukan, terutama di lingkup UGM. Beberapa di antaranya seperti yang dilakukan oleh Dako (2005) dan Lailiyah (2013). Dako (2005) dalam tesisnya berjudul “Tindak Tutur dalam Upacara adat Meminang di Masyarakat Gorontalo” mengkaji tiga hal, yaitu (1) ciri-ciri bahasa yang digunakan sebelum meminang, (2) ciri-ciri bahasa yang digunakan saat meminang, dan (3) tindak tutur dalam upacara adat meminang dalam masyarakat Gorontalo. Penelitian ini mengumpulkan data melalui teknik observasi. Kemudian, data yang sudah terkumpul dianalisis menggunakan teori aspek-aspek pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1983). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa: (1) ciri-ciri bahasa yang digunakan sebelum meminang dan pada hari pernikahan adalah berupa percakapan dan sajak, serta penuturnya menggunakan

11

bahasa yang literer; (2) dalam upacara adat meminang ciri-ciri bahasa yang digunakan oleh penutur adalah standar, literer, perumpamaan, pantun, simbol, dan arkais; dan (3) jenis tindak tutur yang muncul dalam upacara adat meminang ini, antara lain: memohon, meminta, mempermalukan, memuji, menyebutkan, menunjukkan, memperingatkan, mempersilakan, melaporkan, mempersaksikan, bersalam, menyatakan, berjanji, meminang, menyarankan, dan mengesahkan. Sementara itu, Lailiyah (2013) dalam tesisnya berjudul “Tindak Tutur Direktif dalam Rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post” mengkaji tiga hal, yaitu (1) jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post, (2) maksud tindak tutur direktif yang digunakan, dan (3) strategi kesopanan yang digunakan dalam tuturan direktif tersebut. Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak. Sementara itu, untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode kontesktual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) jenis tindak tutur direktif yang ditemukan dalam rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post adalah tindak tutur langsung dengan modus kalimat imperatif, tindak tutur tidak langsung dengan modus kalimat deklaratif dan interotatif, dan tindak tutur literal; (2) kemudian tindak tutur yang ditemukan tersebut memiliki 8 maksud, yaitu: memerintah/menyuruh, melarang, meminta, menyarankan/menganjurkan, mengajak, memperingatkan, mengharapkan, dan membiarkan; dan (3) strategi kesopanan yang digunakan untuk mengungkapkan tuturan direktif dalam rubrik Reader’s Forum di The Jakarta Post, meliputi strategi kesopanan positif dan strategi kesopanan negatif.

12

Dari tinjauan pustaka di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada penelitian yang secara khusus meneliti bahasa sang ibu dalam film kartun Dora the Explorer. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap bisa meneliti bahasa sang ibu dalam film kartun Dora the Explorer karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Sementara itu, tinjauan pustaka di atas berkontribusi memberikan sumber pustaka dan teori yang bisa digunakan sebagai acuan untuk meneliti dan menganalisis bahasa sang ibu dalam film kartun Dora the Explorer.

1.7 Landasan Teori Landasan teori digunakan sebagai pijakan peneliti dalam menganalisis data bahasa sang ibu. Landasan teori ini terdiri dari psikolinguistik, pemerolehan bahasa, bahasa sang ibu, ragam bahasa, dan tindak tutur.

1.7.1 Psikolinguistik Psikolinguistik merupakan studi yang berfokus pada psikologi dan bahasa (Clark and Clark, 1977: 4). Ilmu ini mencari hubungan antara otak manusia dengan bahasa, maupun pikiran dengan bahasa (Field, 2003: 2). Oleh karena itu, ilmu ini membahas tentang faktor-faktor psikologi dan neurobiologis yang memungkinkan manusia untuk bisa memperoleh, menggunakan, dan memahami bahasa. Menurut Cowles (2011: 10), kajian psikolinguistik memerhatikan pengetahuan

dan

proses

yang

mendasari

kemampuan

manusia

untuk

menggunakan bahasa dan bagaimana pengetahuan dan proses tersebut berhubungan dengan kognisi manusia. Cowles (2011: 10) juga menyebutkan

13

bahwa psikolinguistik menggunakan pendekatan kognisi yang meliputi hubungan antara penyelesaian masalah, memori, dan perhatian, dengan penggunaan bahasa. Menurut Dardjowidjojo (2010: 7), kajian utama ilmu psikolinguistik meliputi empat bidang: (a) komprehensi, yakni proses mental yang dilalui manusia sehingga ia bisa memahami bahasa, (b) produksi, yakni proses mental pada manusia yang memungkinkan mereka bisa memproduksi ujaran, (c) landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa. Penelitian ini hanya membahas tentang bahasa sang ibu yang berada di bawah payung pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan bahasa pertama pada anak.

1.7.2 Pemerolehan Bahasa Bayi yang berumur enam bulan tidak bisa berbicara, sedangkan anak yang yang berumur satu tahun sudah mulai bisa berbicara. Hal semacam ini terjadi karena ada tahapan dalam pemerolehan bahasa. Awal pemerolehan bahasa pada semua bayi pada dasarnya sama. Mula-mula seorang bayi mengeluarkan suara dalam bentuk tangisan ketika ia merasa lapar maupun merasa tidak nyaman. Kemudian, seorang bayi akan mulai menghasilkan bunyi-bunyi yang lain hingga akhirnya bisa berbicara dengan kata. Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakuakan seorang anak secara alami pada saat belajar bahasa ibu (Daardjowidjojo, 2010: 225). Pemerolehan bahasa pada anak terjadi pada dua sistem, yaitu produksi dan komprehensi. Sistem produksi berkaitan dengan bagaimana anak memproduksi

14

ujaran, sedangkan sistem komprehensi berkaitan dengan proses anak memahami dan menguraikan tuturan (Harley, 2001: 334). Bahasa memiliki tiga komponen penting, yakni fonologi, sintaksis, dan semantik. Ketiga komponen tersebut juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa. Dardjowidjojo (2010: 244) berpendapat bahwa anak mulai memperoleh perkembangan bahasa sejak umur 6 minggu. Selanjutnya, anak-anak dalam usia yang masih muda secara sintaksis baru bisa memproduksi satu dua kata dengan tata bahasa yang masih sederhana (Dardjowidjojo, 2010: 246-250). Sedangkan secara semantik, pada umumnya anak mulai memakai kata pada umur 1 tahun, dan sekitar 1,7 tahun anak mulai menguasai 50 kata (Dardjowidjojo, 2010: 258). Menurut Lightbown dan Spada (1999: 1-2), ada beberapa tahapan pemerolehan bahasa oleh anak. Bayi yang masih kecil sudah bisa membedakan bunyi pa dan ba. Di akhir umur satu tahun, pada umumnya bayi sudah bisa memahami beberapa kata yang sering diulang-ulang. Kemudian pada umur 12 bulan, mereka mulai memproduksi satu atau dua kata. Pada tahap ini, perbendaharaan kosakata yang diproduksi maupun dipahami meningkat dengan pesat. Pada umur dua tahun, bayi sudah mulai memproduksi kalimat yang sederhana seperti Mommy juice. Kemudian pada umur 3,5 atau 4 tahun, anak sudah bisa membuat kalimat pertanyaan, memberi perintah, menceritakan kembali tentang suatu kejadian, dan mengemukakan imajinasi mereka. Sedangkan pada umur 4 tahun, anak sudah menguasai tata bahasa dasar dari bahasa yang mereka pelajari. Selanjutnya, kemampuan terhadap pemahaman dan penggunaan bahasa berkembang dengan cepat setelah anak memasuki tahun pre-school (PAUD). Pada

15

umur ini, kesadaran lingusitik (metalinguistic awareness) anak masih berkembang secara lambat dan baru muncul ketika mulai belajar membaca. Seperti halnya orang dewasa, ketika belajar memperoleh bahasa, anak menghadapi dua masalah, yaitu bagaimana memetakan ide dan pengetahuan yang dimiliki untuk kemudian diekspresikan dalam sebuah kata, serta bagaimana mengomunikasikan ide tersebut agar tersampaikan kepada mitra tutur (Clark and Clark, 1977: 296). Anak pada masa perkembangan masih memiliki kemampuan terbatas dalam menggunakan dan memahami bahasa. Hal tersebut menuntut orang dewasa untuk memodifikasi ujaran mereka ketika berbicara dengan anak-anak.

1.7.3 Bahasa Sang Ibu Field (2004: 54) mendefinisikan bahasa sang ibu sebagai bahasa yang digunakan orang dewasa ketika berbicara kepada anak-anak yang masih dalam masa perkembangan. Bahasa sang ibu digunakan karena kemampuan komprehensi bahasa anak belum sempurna. Oleh karena itu, agar anak bisa memahami ujaran yang disampaikan, maka orang dewasa perlu memodifikasi ujarannya. Menurut Lust (2006: 111), secara garis besar bahasa sang ibu memodifikasi prosodi, sintaksis, leksikon, fonologi, wacana, dan penggunaan bahasa. Clark and Clark (1977:321-337) menyebutkan 8 karakteristik bahasa sang ibu:

16

1) Exclamation Exclamation terdiri dari kata seru atau perintah. Pada dasarnya, keduanya digunakan untuk memperoleh perhatian anak. Dengan demikian, anak menyadari bahwa dia sedang diajak bicara. Kata seru terkadang digunakan ketika nama diri mitra tutur tidak dikenal atau tidak ingin disebutkan. Adapun contoh kata seru dalam bahasa Inggris antara lain hey! dan hi!. Sementara itu, penggunaan perintah dalam sebuah tuturan bertujuan untuk mendapat perhatian dari anak karena terkadang anak tidak fokus dengan suatu pekerjaan. Perintah juga akan mempermudah anak memahami pesan yang disampaikan. 2) Nama diri Ketika berkomunikasi dengan anak, orang dewasa akan lebih sering menggunakan nama diri (proper nouns) daripada kata ganti. Hal ini akan membuat referen menjadi spesifik dan akan membantu anak memahami tuturan. 3) Laju ujaran lambat Pada umumnya, orang dewasa akan cenderung melebih-lebihkan intonasi berbicara mereka ketika berkomunikasi dengan anak. Lebih lanjut, laju ujaran juga akan menjadi lambat. Hal ini karena anak-anak belum dapat memahami bahasa dengan cepat. Anak yang masih dalam tahap pemerolehan bahasa memerlukan waktu yang lebih lama untuk memproses pesan suatu tuturan. Oleh karena itu, agar anak bisa memproses dan memahami pesan yang

17

disampaikan, orang dewasa akan cenderung menggunakan laju ujaran yang lambat. Selain laju ujaran lambat, orang dewasa juga menggunakan nada bicara yang naik turun. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian dari anak. 4) Sini dan kini Orang dewasa pada umumnya berbicara dengan anak-anak tentang hal-hal yang sedang terjadi di sekitar lingkungan mereka, bukan hal-hal yang bersifat abstrak atau hal-hal yang jauh dari jangkauan anak. Hal ini karena jumlah perbendaharaan kosakata anak masih sangat terbatas. Dengan demikian, agar anak memahami tuturan orang dewasa, maka mereka harus menggunakan kata dan topik pembicaraan yang bersifat “sini dan kini”. 5) Pemilihan kosakata Kosakata yang digunakan dalam bahasa sang ibu bersifat sederhana dan terbatas. Hal ini karena perbendaharaan kosakata anak masih terbatas. Oleh karena itu, kosakata dalam bahasa sang ibu bersifat umum dan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh kata see akan dipahami oleh anak daripada kata notice. 6) Kalimat pendek Bahasa sang ibu cenderung terdiri dari kalimat-kalimat pendek dengan struktur sederhana. Lebih lanjut, tuturan pendek hanya terdiri dari struktur gramatikal yang sederhana. Dengan demikian, tuturan pendek akan memungkinkan anak memahami isi tuturan.

18

7) Pengulangan Orang dewasa juga sering mengulang-ulang ujarannya, baik dengan kata yang sama atau memparafrase ujarannya. Hal ini bertujuan agar anak bisa menginterpretasikan pesan yang ingin disampaikan orang dewasa dan mengingat apa saja yang sudah disampaikan. 8) Pujian Pujian adalah memberikan apresiasi kepada anak. Pujian bisa berupa motivasi untuk melakukan sesuatu. Lebih lanjut, kata-kata berupa pujian bisa meningkatkan kepercayaan diri anak terhadap kapasitas yang dimilikinya. Motivasi yang diberikan dalam tuturan kepada anak akan memengaruhi proses belajar dan performa anak (Schunk, Pintrivh, dan Meece, 2010: 128). Menurut Clark and Clark (1977: 327) bahasa yang telah dimodifikasi harus mengandung bahasa pembelajaran (language lesson). Secara garis besar, ada 3 alasan penggunaan bahasa sang ibu (Clark and Clark, 1977: 327-329). 1) Conversational lessons Conversational lessons berusaha mengumpulkan prinsip-prinsip kooperatif dalam ujaran. Oleh karena itu, penggunaan bahasa sang ibu akan bisa menimbulkan kooperatif dalam percakapan antara orang dewasa dan anakanak. Pada akhirnya, anak memahami tuturan dan pesan yang ingin disampaikan. 2) Mapping lessons Mapping lessons mempermudah anak memetakan ide yang kemudian diekspresikan dalam kata. Dengan pemilihan objek dan topik pembicaraan

19

yang mudah dipahami yang berdasarkan pada prinsip “di sini dan sekarang”, akan memudahkan anak dalam memetakan idenya serta tidak ragu untuk mengekspresikannya dalam bentuk tuturan. 3) Segementation lessons Segementation lessons biasanya dilakukan dengan memodifikasi tuturan yang panjang seperti klausa maupun kalimat menjadi sebuah kata yang dituturkan dengan nada pelan. Hal ini bertujuan agar anak bisa memahami pengetahuan tentang konstituen bahasa yang terkandung pada tuturan orang dewasa.

1.7.4 Ragam Bahasa Penutur yang berbeda akan menggunakan cara berbeda ketika berbicara. Cara tersebut disebut dengan ragam bahasa (Llamas, Mullany, and Stockwell, 2007: 3). Ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya ragam bahasa, salah satunya adalah umur (Llamas, Mullany, and Stockwell, 2007: 69). Karena umur memengaruhi adanya perbedaan gaya bahasa yang digunakan, maka tidak mengherankan jika bahasa orang dewasa akan berbeda dengan bahasa anak-anak. Menurut Holmes (1992: 183), perbedaan bahasa karena faktor umur dilihat dari segi nada, kosakata, pengucapan, serta tata bahasa. Perbedaan tersebut muncul karena menyesuaikan kemampuan penutur dan mitra tuturnya terhadap pemahaman bahasa. Hymes (dalam Llamas, Mullany, and Stockwell, 2007: 95) menyatakan bahwa ragam bahasa juga terjadi karena adanya perbedaan situasi, tujuan, dan mitra tutur. Sebuah informasi yang sama akan disampaikan dengan bahasa dan

20

cara yang berbeda jika disampaikan untuk mitra tutur, tujuan, serta konteks yang berbeda. Menurut Holmes (1992: 245) mitra tutur serta konteks pembicaraan memengaruhi seseorang dalam memilih kode atau ragam bahasa yang digunakan dalam percakapannya. Adanya perbedaan mitra tutur inilah yang juga menyebabkan seseorang akan menggunakan cara yang berbeda ketika berbicara dengan anak-anak dan orang dewasa (Holmes, 1992: 247). Leih lanjut, umur mitra tutur menyebabakan seseorang akan menggunakan kode dan ragam bahasa yang berbeda. Holmes (1992: 247) berpendapat bahwa kebanyakan orang akan menggunakan kosakata dan susunan gramatikal yang lebih sederhana agar mudah dipahami ketika berbicara dengan anak-anak. Variasi sosial yang digunakan orang dewasa atau anak untuk berkomunikasi dengan anakanak disebut dengan child-directed speech (Llamas, Mullany, and Stockwell, 2007: 70). Istilah ini dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan “bahasa sang ibu” (Dardjowidjojo, 2010: 242).

1.7.5 Tindak Tutur Aitchison (2003: 106) mendefinisikan tindak tutur sebagai tuturan yang berlaku seperti tindakan. Lebih lanjut, Yule (1996: 47) menjelaskan bahwa tindak tutur merupakan tindakan yang dilakukan melalui tuturan. Ketika berbicara, penutur sebenarnya mencoba memberikan pengaruh dari kata-kata yang digunakannya. Pengaruh tersebut memberikan dampak yang dialami pendengar. Hal ini karena pada dasarnya ketika seorang menuturkan ucapannya, dia juga melakukan sesuatu (Austin, 1962: 98).

21

Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan setidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi yaitu tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu (Wijana, 1996: 18). Sementara itu, tindak ilokusi yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 19). Sedangkan, tindak perlokusi merupakan tindak mitra tutur yang digunakan untuk memengaruhi lawan bicara (Wijana, 1996: 20). Menurut Searle (2005: 12-17), ada 5 klasifikasi tindak tutur: 1) Asertif Yaitu, tindak tutur yang menyatakan kebenaran yang diungkapkan. Tindak tutur asertif dapat berupa pernyataan, kabar, deskripsi, tuntutan, pernyataan tentang fakta, laporan, dan kesimpulan. 2) Direktif Yaitu, tindak tutur yang bertujuan agar pendengarnya melakukan sesuatu. Tindak tutur jenis ini juga meliputi perintah, permintaan, ajakan, larangan, permohonan, tuntutan, paksaan, undangan, peringatan, izin, dan saran. 3) Komisif Yaitu, jenis tindak tutur yang digunakan untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang. Tindak tutur jenis ini meliputi berjanji, bersumpah, menawarkan, mengancam, dan menolak. 4) Ekspresif Yaitu, jenis tindak tutur yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan dan sikap psikologis penutur terhadap sesuatu. Tindak tutur jenis ini berupa

22

ucapan terima kasih, selamat, penyesalan, kegembiraan, kesedihan, kesukaan, kebencian, kekecewaan, kritikan, keluhan, penyesalan, permohonan maaf, sambutan, dan sebagainya. 5) Deklarasi Yaitu, jenis tindak tutur yang mengubah sesuatu melalui ujaran. Tindak tutur deklarasi juga bermakna mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang baru. Tindak tutur ini bisa diungkapkan melalui ungkapan memutuskan, melarang, mendeklarasikan, dan sebagainya. Yule (1998) mencontohkan ketika seseorang pendeta mengatakan “I now pronounce you as a husband and wife”, maka ujaran tersebut menjadikan seseorang menjadi suami-istri. Sementara itu Malinowski (1923) menambakan adanya satu tindak tutur lagi, yakni tindak tutur fatis yang digunakan dalam interaksi komunikasi. Contoh dari tindak tutur fatis adalah menyapa atau bergosip. Dengan demikian fokus dari tindak tutur ini adalah untuk berkomunikasi, bukan informasi yang terkadung di dalamnya. Sementara itu, kaitannya dengan psikolinguistik, anak yang masih dalam tahap memperoleh bahasa akan cenderung banyak menggunakan tindak tutur asertif dan direktif, serta beberapa kali menggunakan tindak tutur ekspresif (Clark and Clark, 1977: 314). Kemampuan bahasa anak yang masih terbatas akan membuat mereka jarang sekali menggunakan tindak tutur deklarasi dan komisif. Anak membuat tindak tutur asertif untuk menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung atau menunjukkan sesuatu yang sedang terjadi (Clark and Clark, 1977: 316). Sementara itu, tindak tutur direktif digunakan untuk meminta

23

melakukan sesuatu atau meminta informasi. Namun, meminta informasi tidak umum digunakan pada anak (Clark and Clark, 1977: 316).

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif karena mendeskripsikan fenomena dalam sebuah konteks (Vanderstoep dan Johnston, 2009:35). Lebih lanjut Vanderstoep dan Johnston (2009:35) menyatakan bahwa dengan menggunakan metode ini peneliti tidak memiliki kontrol terhadap variabel yang sedang ditelitinya. Dengan demikian peneliti hanya melaporkan apa yang terjadi dengan variabel tersebut. Pendekatan ini sangat sesuai dengan tujuan penelitian ini, karena pendekatan ini memungkinkan pemahaman lebih mendalam terhadap populasi yang dipelajari.

1.8.2 Data dan Sumber Data Objek penelitian ini adalah tuturan para tokoh dalam film kartun Dora the Explorer. Sumber data dalam penelitian ini adalah film kartun Dora the Explorer episode Fairytale Adventure yang diunduh dari http://www.youtube.com. Karena penelitian ini mengkaji karakteristik bahasa, maka data penelitian ini dalam bentuk tuturan, baik berupa kata, frasa, kalimat, maupun wacana.

24

1.8.3 Metode Penyediaan Data Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik catat. Menurut Kesuma (2007: 43), metode simak juga disebut dengan observasi. Untuk mengumpulkan data, penulis menyimak dengan menonton film kartun Dora the Explorer. Sementara itu, teknik penyediaan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik catat karena data dijaring dengan mencatat hasil penyimakan film kartun tersebut. Adapun langkahlangkah penjaringan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1) peneliti menonton film kartun Dora the Explorer untuk melihat karakteristik bahasa yang digunakan; (2) peneliti kemudian mentranskrip percakapan dalam film kartun tersebut untuk mempermudah penjaringan data; dan (3) data kemudian dijaring berdasarkan karakteristiknya. Untuk mempermudah tahap pengumpulan data, maka digunakan tabel analisis. Berikut adalah bentuk tabel untuk tindak tutur yang ditemukan. Tabel 1. Tindak Tutur dalam Film Kartun Dora the Explorer

N

Tuturan

Konteks

o

Jenis

Penjelasan

tindak tutur

1.

DORA

: Hola!

Dora

menyapa

Ekspresif

Hola digunakan

Soy

penonton di awal

untuk menyapa

Dora! …

pembukaan film.

penonton

25

sehingga termasuk bentuk ekspresif. Sementara itu, tabel untuk karakteristik bahasa dibuat untuk setiap karakteristik. Berikut adalah contoh tabel untuk nama diri. Bentuk tabel tersebut sama untuk jenis karakteristik bahasa yang lain. Tabel 2. Nama Diri dalam Film Kartun Dora the Explorer

N

Tuturan

Penjelasan

o 1.

(In the jungle)

Menggunakan nama diri agar mitra

DORA

tutur sadar bahwa dialah yang diajak

: Wooooh! Look, Boots! We’re in

berkomunikasi.

fairytale land…

1.8.4 Metode Analisis Data Data yang sudah dijaring kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah. Untuk menganalisis data penelitian ini digunakan metode analisis tekstual. Menurut Vanderstoep and Johnston (2009: 210) analisis tekstual melibatkan indentifikasi dan interpretasi fenomena kebahasaan, baik berupa verbal maupun nonverbal. Analisis tekstual sangat sesuai dengan tujuan penelitian ini yang ingin mengidentifikasi dan menginterpretasikan karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer.

26

Lebih lanjut, Vanderstoep and Johnston (2009: 213) membagi analisis tekstual menjadi 3: (1) discourse analytic perspective, yakni analisis untuk memahami budaya pada kelompok sosial, (2) conversational analysis, yakni analisis untuk memahami percakapan, dan (3) narrative analysis, yakni analisis yang digunakan pada aktivitas mendongeng (storytelling). Karena data penelitian ini berupa ujaran para tokoh dalam film kartun Dora the Explorer, maka digunakan conversational analysis. Metode ini kemudian digunakan untuk menganalisis percakapan para tokoh dalam film kartun tersebut untuk bisa menjawab rumusan masalah.

1.9 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan menggunakan metode informal. Metode informal ini menyajikan data dengan menggunakan kata-kata biasa, meskipun juga terdapat terminologi yang bersifat khusus (Sudaryanto, 1993: 145). Sementara itu, data kuantitatif juga digunakan untuk menunjukkan frekuensi jenis tindak tutur dan karakteristik yang ditemukan dalam film kartun Dora the Explorer. Frekuensi tersebut sangat membantu peneliti dalam menganalisis tiap rumusan masalah.

1.10

Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, yaitu: bab I merupakan

pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

27

penelitian, metode penyajian hasil analisis data, dan sistematika penulisan. Sementara itu, pada bab II membahas deskripsi tindak tutur yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer. Bab III memuat deskripsi karakteristik bahasa yang digunakan dalam film kartun Dora the Explorer. Bab IV berisi penjelasan faktor penggunaan karakteristik bahasa dalam film kartun Dora the Explorer. Sementara itu, bab V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

BAB I PENDAHULUAN. 2000, film kartun ini telah menjadi acara favorit anak-anak usia prasekolah - PDF Free Download (2024)
Top Articles
Latest Posts
Recommended Articles
Article information

Author: Rubie Ullrich

Last Updated:

Views: 6500

Rating: 4.1 / 5 (52 voted)

Reviews: 83% of readers found this page helpful

Author information

Name: Rubie Ullrich

Birthday: 1998-02-02

Address: 743 Stoltenberg Center, Genovevaville, NJ 59925-3119

Phone: +2202978377583

Job: Administration Engineer

Hobby: Surfing, Sailing, Listening to music, Web surfing, Kitesurfing, Geocaching, Backpacking

Introduction: My name is Rubie Ullrich, I am a enthusiastic, perfect, tender, vivacious, talented, famous, delightful person who loves writing and wants to share my knowledge and understanding with you.